Sabtu, 05 Maret 2011

pertanyaan dan pertanyaan

Kenapa kita takut agama kita di nistakan?
Kenapa kita takut ketika ada nabi lagi setelah Nabi Muhamad?
Kenapa kita resah ketika Tuhan kita di duakan?
Apakah agama kita bisa di nistakan?
Apakah kemuliaan Nabi Muhamad akan berkurang ketika ada nabi lagi setelah Beliau?
Apakah Tuhan akan resah ketika di duakan?
Jawabannya “TIDAK’.

Keyakinan dan Pengetahuan

Di sini saya lebih suka menggunakan kata keyakinan daripada kata lain, agama misalnya. Karena menurut saya kata keyakinan lebih ke arah personal, lebih mandiri dan lebih steril karena minimal lebih jauh dari kontaminasi dan pragmatisme institusi tertentu.
Pembahasan tentang keyakinan ini lebih banyak adalah hasil dari perenungan saya sendiri, akan tetapi tidak salah juga kalau pembahasan ini kita lempar ke tengah-tengah masyarakat. Yang mana kita semua tahu dan menyaksikan, sedang dan tengah terjadi di tengah masyarakat kita gejala-gejala yang mengarah pada kecenderungan pemaksakan keyakinan dari golongan satu ke golongan yang lain, yang tidak jarang ada anarkisme dan brutalisme di dalamnya.
Keyakinan
Keyakinan di sini saya artikan atau saya pandang sebagai sesuatu yang amat privat, genuine dan tanpa keragu-raguan di dalamnya. Keyakinan adalah sesuatu yang relative bisa berdiri sendiri dan dan sama sekali tidak membutuhkan pengakuan dari pihak lain/eksternal. Dan seringkali keyakinan juga tidak terlalu risau dengan bukti-bukti yang nyata, riil dan rasional untuk menjelaskan keberadaannya. Keyakinan akan selalu dan selalu bergerak pada level mental dan wilayah inspirasi instuisi. Keyakinan kita dapat bukan karena ilmu melainkan laku, dia ada bukan karena pengetahuan melainkan karena pengalaman.
Tetapi saya rasa justru karena itulah keyakinan akan lebih terasa absolute, menarik dan berharga.keyakinan adalah sebuah pertaruhan yang mengandung resiko saya kira. Semakin besar resiko yang akan kita tanggung maka semakin tinggi pula kadar keyakinan kita . sebaliknya, keyakinan yang penuh keragu-raguan dan selalu menuntut bukti yang rasional justru lebih menunjukkan lemahnya kadar keimanan itu sendiri.
Di sini saya menyimpulkan(mungkin juga salah), independensi keimanan adalah sesuatu yang sangat penting. Independensi bukan hanya membebaskan keyakinan dari belenggu realitas dan rasionalitas, tetapi lebih dari itu, ini juga akan membawa dan membebaskan keyakinan dari ikatan-ikatan institusi formal dan keagamaan sekalipun. Dalam keyakinan, pengalaman pribadi spiritual adalah di atas segala-galanya.
Jadi, adalah sesuatu kemustahilan bilamana ada pihak-pihak yang berinisiatif memaksakan keyakinan, dan juga sangat konyol kalau boleh saya bilang di sini. Keyakinan sama sekali tidak bisa di paksakan dengan dalih dan tujuan apapun.
Pengetahuan.
Pengetahuan ada karena adanya rasa ingin tahu. Rasa ingin tahu berangkat dari sebuah hasrat akan sesuatu hal ikhwal yang belum kita ketahui yang notabene akal pikiran berada di belakang itu semua.
Pengetahuan adalah sesuatu yang terikat oleh ruang dan waktu. Dia akan selalu berkembang dan bergerak searah dengan perkembangan zaman serta tingkat intelektualitas akal pikiran manusia. Pengetahuan akan selalu dan terus- menerus di interogasi, di koreksi bahkan dalam beberapa kasus di anulir sama sekali oleh pengetahuan yang datang belakangan. Berbeda dengan keyakinan, pengetahuan akan selalu menuntut bukti-bukti rasional dengan sangat kritis. Pengetahuan dalam perkembangannya akan selalu membawa relatifitas, keraguan dan pertanyaan yang tiada habis-habisnya. Dan bahkan untuk hal-hal yang jelas tak terjangkau pun, pengetahuan akan terus kritis dan bertanya(inilah uniknya akal manusia yang merupakan anugerah paling berharga dari Tuhan). Tapi justru dari situlah pengetahuan di jamin akan terus berkembang dan lestari.
Dengan kata lain kita bisa mengatakan pengetahuan adalah “kebenaran sementara”, ia akan selalu menunggu dan menerima serpihan –serpihan kebenaran yang di bawa pengetahuan berikutnya untuk lengkapnya kebenaran itu sendiri.
Kesimpulan.
Keyakinan dan pengetahuan adalah dua hal yang berangkat dari pengandaian yang relatif berbeda. Walaupun berbeda bukan berarti keduanya tidak menganndung kebenaran, kita tidak bisa menggunakan cara pandang dualistik untuk menilai masalah ini. Keduanya, baik keyakinan maupun pengetahuan sama-sama mengajukan kleim-kleim kebenaran dengan cara mereka sendiri.
Keyakinan tidak selalu membutuhkan pengetahuan untuk menjelaskan tentang apa-apa yang di yakini. Begitu juga pengetahuan tidak harus merasa terbebani oleh keyakinan untuk menjawab pertanyaan yang ada pada dirinya. Dalam satu titik keyakinan dan pengetahuan adalah dua hal terpisah yang tidak harus punya korelasi di antara keduanya.

Tuhan, pemberhalaan dan ekspresi kerinduan

Berangkat dari sebuah pertanyaan, yang sungguh sangat menngelisahkan akal pikiran saya. Kenapa Tuhan sangat benci dengan pemberhalaan? Kenapa Tuhan begitu pencemburu? Sebuah pertanyaan yang mungkin bagi sebagian orang adalah bagian dari wilayah atau ranah yang sangat di tabukan, di tutup rapat dalam ruang dogma untuk tidak di buka - buka lagi.
Tetapi saya tidak mau menjadi manusia munafik, yang berusaha menutupi atau menyembunyikan pertanyaan yang memang ada dan seolah sedang menggedor akal pikiran saya yang memaksa untuk mencari jawaban atas pertanyaan ini. Walaupun nanti pada akhirnya mungkin jawaban pasti atas pertanyaan ini tidak saya temukan, tapi minimal saya sudah berusaha mencari dan memuaskan akal pikiran saya, sesuai dengan filosofi lebih baik mencari dengan bertanya daripada menemukan dengan menjawab.
Pemberhalaan, kita semua tahu, apapun bentuknya adalah sesuatu yang konon sangat di benci Tuhan. Bahkan dalam dogma islam pemberhalaan adalah dosa yang paling besar dan ada kemungkinan tak terampuni.
Saya akan mencoba dan mencoba lebih rasional (karena saya manusia) dan berusaha melihat pemberhalaan dari sisi yang lebih positif(kalau kata ini boleh saya pakai). Pemberhalaan dalam bentuk apapun saya mengira(mungkin juga salah) adalah justru atau bagian dari sebuah ekspresi kerinduan. Kerinduan yang amat sangat atas sebuah Wujud, kerinduan yang menyesakkan atas wajah Tuhan. Manusia dengan segala keterbatasan akal pikirannya dan segala keterbatasan panca indranya akan selalu berusaha menjangkau hal atau sesuatu yang tak terpahami menjadi terpahami oleh keterbatasan yang dia miliki serta menghadirkannya menjadi sesuatu yang dapat ter jangkau oleh panca indra mereka.
Saya akan coba mengetengahkan sebuah analogi, ketika kita berada pada sebuah jarak dengan orang yang mungkin sangat kita kasihi, pastinya kita akan merasakan sebuah rasa kerinduan yang amat sangat. Dalam kerinduan yang teramat sangat itu kita seringkali akan mencoba menghadirkan obyek/orang yang kita kasihi dalam berbagai cara atau bentuk, sekedar untuk mengurangi rasa rindu dan merupakan bagian dari ekspresi kerinduan itu sendiri. Secara sadar dan amat sangat kita sadari, segala sesuatu yang coba kita hadirkan untuk mengekspresikan kerinduan itu bukanlah apa yang kita rindukan itu sendiri. Kita menyadari dengan segala keterbatasan yang ada, kita tidak mungkin bahkan mustahil untuk menghadirkan apa yang kita rindukan, akan tetapi apa salahnya bahwa untuk sekedar mencoba mengobati kerinduan yang kita hadapi dengan cara menghadirkan obyek/sarana yang mungkin lebih terjangkau oleh akal pikiran kita yang amat terjangkau ini.
Di sini saya menyimpulkan, pemberhalaan dengan segala variasi dan bentuknya sebenarnya hanyalah sebuah ekspresi, ekspresi kerinduan. Kerinduan manusia akan sebuah Wujud dan wajah Tuhan yang coba manusia hadirkan dengan ekspresi yang mungkin lebih terjangkau oleh akal pikiran dan segala keterbatasan yang di miliki manusia. Mereka mencoba menterjemahkan dan memahami sesuatu yang tak terpahami untuk menjadi terpahami.
Dalam satu sisi saya justru melihat ini adalah sebuah wujud pengakuan yang jujur serta kerendahan hati. Seolah mereka mengisyaratkan dan berkata “aku hanyalah makhluk yang sangat nisbi, sangat terbatas dan sangat tidak mampu di hadapan Yang Tak Terbatas”. Sebuah pengakuan yang jujur dan justru adalah sebuah pencerminan dari sikap tawadu’.
Jadi, haruskah pemberhalaan itu di benci dan di nafikan????
Wallahu ‘allam……………..

Mengapa Saya Mengantuk Ketika (Mendengar) Khutbah Jum’at?

Sebenarnya pertanyaan ini sudah lama saya pendam. Tetapi baru kali ini saya berkesempatan menuangkan pertanyaan saya dalam bentuk tulisan. Saya berharap mungkin nantinya ada yang bisa membantu menjawab pertanyaan tersebut.
Siang tadi saya mengikuti shalat jum’at di kampung. Sama seperti jum’at - jum’at sebelumnya, ketika khatib naik mimbar membacakan khutbah pada saat itulah rasa kantuk langsung menyergap. Saya sampai berpikir, apa mungkin ini yang di namakan godaan setan atau jebakan yang di pasang setan agar saya tidak bisa konsentrasi pada khutbah tersebut?
Saya akan coba obyektif dan rasional untuk menjawab pertanyaan di atas, akan tetapi mungkin jawaban saya ini bagi sebagian orang bukanlah sebuah jawaban yang memuaskan.
Rasa jenuh yang meningkat menjadi kantuk yang saya rasakan mungkin karena kurangnya ketertarikan kepada khutbah jum’at tersebut. Kurangnya ketertarikan berbanding lurus atau di akibatkan oleh sesuatu yang kurang menarik, dalam hal ini yang kurang menarik adalah khutbah jum’at itu sendiri. Kenapa?
Dari waktu ke waktu khutbah jum’at yang saya rasakan sepertinya tidak ada perubahan dan hanya begitu - begitu saja. Dari segi tema yang terkesan mengulang - ulang materi yang sebelumnya, juga dari segi penyampaian sangat tidak menarik dan sangat menjemukan. Pun dari segi waktu yang terkesan berlama - lama padahal dengan bahasan yang itu - itu saja.
Kenapa sepertinya dari waktu ke waktu tidak ada (atau mungkin saya yang tidak tahu) upaya atau usaha yang nyata dan serius dari para khatib untuk bagaimana caranya mencari sebuah formula agar khutbah jum’at yang mereka sampaikan lebih terkesan kreatif, inovatif dan mengundang rasa ingin tahu serta penasaran. Secara substansial khutbah jum’at adalah sebuah media untuk menyampaikan nasehat, pola pandang dan juga gagasan. Ketika sebuah gagasan di sampaikan dengan cara yang kreatif dan menarik tentu hasilnya juga akan lebih “nyantol” dihati dan pikiran pendengarnya. Dan saya pikir mungkin tidak perlu tema yang terlalu muluk dan njlimet yang justru membawa kita ke awang awang dan mungkin bagi sebagian orang malah tidak terpahami sama sekali. Cukup dengan tema yang sederhana tapi di kemas dan di sajikan dengan cara yang kreatif. Ini mungkin justru akan lebih mengundang rasa ingin tahu dan antusiasme dari para jamaah jum’at.
Semoga bermanfaat dan saya berharap mungkin ada yang bisa dan mau memberikan jawaban yang lebih obyektif dan lebih merupakan sebuah jawaban.

Rasionalitas Awam

Ketika semangat rasionalitas bergema dan nyaris memasuki semua bidang kehidupan, bahkan agamapun tak luput dari semangat itu. Saya sebagai seorang awam dengan segala keterbatasan pengetahuan dan pemikiran dan tentunya juga pengalaman merasa ada sebuah kenyamanan tersendiri ketika saya ikut secara “diam diam” arus semangat itu. Kita sebagai makhluk yang di bekali akal pikiran sudah sepantasnya dan bahkan merupakan sebuah keharusan untuk mengeksploitasi akal pikiran itu, sebebas bebasnya bahkan mungkin kalau boleh saya memakai istilah “seliar liarnya”. Tanpa ada yang bisa membatasi, bahkan dogma agama sekalipun. Tetapi ada sebuah ganjalan dalam hati saya, sekali lagi karena saya orang awam dengan segala keterbatasannya. Haruskah akal pikiran di tempatkan di atas segala galanya? Haruskah orang awam seperti saya ini mengeksploitasi akal pikiran tanpa batas? Mampukah dengan segala keterbatasan yang saya miliki?